Teologi Pemikiran dalam Sekte Salafiyah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awalnya ilmu kalam lahir banyak
persoalan yang timbul dikalangan masyarakat, yang diawali dengan terbunuhnya
Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib setelah terbunuhnya
Utsman dan Ali maka lahirlah pemikiran-pemikiran para ulama, karena manusia
memiliki pemikiran yang berbeda-beda maka timbullah banyak pemikiran-pemikiran
atau aliran-aliran oleh para ulama diantaranya ialah Aliran Khawarij, Aliran
Murji’ah, Aliran Mu’tazilah, Aliran As’ariyah, Aliran Syi’ah, Aliran Qadariyah,
Aliran Salafiyah, dan Aliran-aliran lainnya.
Disini kita akan menggali lebih dalam tentang pemikiran yang
mereka jalani, aliran-aliran tersebut masing-masing mempunyai landasan yang
dijadikan dasar mereka dalam berhujjah, baik itu al-Qur’an maupun Hadits.
Karena pertemuan sebelumnya telah di jelaskan tentang aliran-aliran teologi
yang lainnya maka pemakalah disini akan melanjutkannya tentang aliran
selanjutnya yaitu Aliran Salafiyah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Asal-usul dan sejarah aliran salafiyah?
2.
Apa
metode pikir aliran salaf?
3.
Bagaimana
pemikiran kalam aliran salafiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
ALIRAN SALAF
A.
ASAL – USUL DAN SEJARAH SALAF
Istilah
salafy ini telah digunakan sejak zaman Rasulullah sebagaimana telah disebutkan
dalam sebuah hadis yang shahih disebutkan bahwa ketika Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam ditimpa penyakit yang menyebabkan kematiannya, beliau berkata
kepada Fathimah Radhiallahu anha: “Bertakwalah
kepada Allah (wahai Fathimah) dan bersabarlah. Dan aku adalah sebaik-baik salaf
(pendahulu) bagimu.”
Kata
salafiyah diambil dari kata "Salaf" adalah kependekan dari "Salaf
al-Ṣāliḥ" (Arab:
السلف الصالح) yang berarti "pendahulu yang sholih". Dalam
terminologi Islam, secara umum digunakan untuk menunjuk kepada tiga generasi
terbaik umat muslim yaitu sahabat, tabi'in, tabi'ut
tabi'in. Ketiga generasi
inilah dianggap sebagai contoh terbaik dalam menjalankan syariat Islam.
Terdapat dalam sebuah hadits :
"Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku (para sahabat) kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi'in) kemudian orang-orang setelah mereka (tabi'ut tabi'in)." Hadits riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya.
"Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku (para sahabat) kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi'in) kemudian orang-orang setelah mereka (tabi'ut tabi'in)." Hadits riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya.
Pokok
ajaran dari ideologi dasar salafi adalah bahwa Islam telah sempurna dan
selesai pada waktu masa Muhammad dan para sahabatnya, oleh karena itu tidak diperbolehkan
adanya inovasi atau tambahan dalam syariat Islam karena pengaruh adat dan
budaya. Paham ideologi Salafi berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam
yang sesuai dengan agama Muhammad pertama kali berdakwah.
Salafisme
juga telah digambarkan sebagai sebuah versi sederhana dan pengetahuan Islam, di
mana penganutnya mengikuti beberapa perintah dan praktik yang hanya sesuai
dengan petunjuk Nabi Muhammad.
Salafiyyah ialah orang – orang yang mengidentifikasikan
pemikiran mereka dengan pemikiran para salaf
. Mereka terdiri dari ulama Salaf . Mereka muncum pendapat bahwa garis
besar mereka bermuara pada pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbali yang menghidupkan
aqidah ulama salaf dan berusaha memerangi paham lainnya .
Aliran Salaf ini lahir kembali dalam abad ke IV H . ,
digerakkan oleh penganut – penganut Hanbali , yang mengaku bahwa keyakinan
berdasarkan pendirian Ahmad bin Hanbal , yang mula – mula ingin menghidupkan
kembali ajran islam menurut keyakinan Salaf dan membasmi aliran – aliran yang
bertentangan dengan itu .
Aliran Salaf ini digerakkan kembali
dalam abad yang ke VII H . Oleh Ibn Taimiyah , yang menjadikan aliran itu bahan
terpenting dalam penyiaran agamanya . Keyakinan ini mendapat sambutan dalam ke
XII H . Dari Muhammad bin Abdulwahab , yang dengan bantuan keluarga raja
Alsa’ud menyiarkan agama ini dengan kekerasan .
Pembicaraanya berputar sekitar tauhid
, perkara penta’wilan ayat – ayat mutasyabihat dalam Qur’an , perkara berdo’a
di kuburan , masalah – masalah yang
sebenarnya sudah pernah lahir dalam abad yang ke IV H .
Selanjutnya pada abad ke – 12
Hijriah pemikiran serupa muncul kembali di Jazirah Arab , dihidupkan oleh
Muhammad ibn’Abdul Wahhab . Kaum Wahabi ini terus – menerus mengkampanyekannya
sehingga membangkitkan amarah sebagian ulama . Oleh karena itu , harus ada
penjelasan mengenai paham ini
Ulama mazhab Hanbali menyinggung
pembicaraan tentang tauhid dan hubungannya dengan kubur . Mereka berbicara
tentang ayat – ayat takwil dan tasybih . Hal inilah yang mereka munculkan
pertama kali pada abad ke – 4 Hijriah . Mereka mengidentifikasikan pembicaraan
mereka ini kepada pendapat Imam Ahmad ibn Hanbali . Identifikasi ini
didiskusikan oleh sebahagian tokoh – tokoh mazhab itu .
B. METODE BERPIKIR KAUM SALAF
Kita telah mengetahui bahwa dalam
menerangkan aqidah Islam serta berdialog dan berdiskusi , Mu’tazilah menempuh
metode falsafi yang mereka tiru dari logika Yunani . membela Islam merupakan
motivator bagi mereka untuk menempuh metode ini
. Dalam metode falsafi ini , mereka didampingi oleh Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah . Dua aliran yang disebut terakhir dekat dengan yang pertama dalam
sebagian besar kesimpulan yang mereka hasilkan , sekalipun mereka juga
mengeritik aliran pertama mengenai hisab .
Kaum Salaf datang menentang
penggunaan metode itu . Mereka menginiginkan agar pengkajian aqidah kembali
pada prinsip – prinsip yang dipegang oleh para sahabat dan tabi’in . Mereka
mengambil prinsip – prinsip aqidah dan dalil – dalil yang mendasarinya dari al
– Qur’an dan Sunnah , serta melarang ulama untuk mempertanyakan dalil – dalil
al – Qur’an itu.
Ibnu Taimiyah yang merumuskan metode
kelompok ini membagi ulama dalam memahami aqidah Islam ke dalam 4 kategori ,
yaitu :
Pertama , para filosof . Mereka mengatakan bahwa al – Qur’an datang dengan metode instruksional dan premis – premis yang dapat diterima di masyarakat . Mereka menegaskan bahwa diri mereka adalah kelompok pakar di bidang argumentasi dan keyakinan , sedang metode aqidah adalah argumentasi dan keyakinan .
Kedua , para pakar Ilmu Kalam , yaitu Mu’tazilah . Mereka mengemukakan berbagai kesimpulan yang rasional sebelum mengadakan penalaran terhadap ayat – ayat al – Qur’an. Mereka berpegang pada dua bentuk argumentasi tetapi mereka mendahulukan penalaran rasional daripada dalil al – Qur’an. . Mereka mentakwilkannya sesuai dengan tuntutan akal , sekalipun mereka tidak keluar dari aqidah al – Qur’an.
Ketiga kelompok ulama yang mengadakan penalaran terhadap aqidah yang terdapat pada al – Qur’an. Untuk diimani dan dalil – dalil yang terkandiung di dalamnya untuk digunakan . Dalil – dalil itu digunakan bukan karena merupakan dalil yang memberikan petunjuk dan bimbingan yang mengarahkan akal untuk mencari berbagai premis di sekitarnya , melainkan karena merupakan sejumlah ayat informatif yang isinya wajib diimani , tanpa menjadikanyya sebagai premis bagi istinbath aqli . Kelihatannya Ibnu Taimiyah meletakkan Maturidiyyah pada kategori ini , karena Maturidiyyah menggunakan akal untuk memahami aqidah yang terdapat dalam al – Qur’an.
Keempat kelompok orang yang beriman kepada al – Qur’an. Baik aqidah maupun dalilnya , tetapi mempergunakannya dalil rasional di samping dalil al – Qur’an. Itu . Kelihatanyya Ibnu Taimiyah memasukkan Asy’ariyyah ke dalam kategori ini .
Pertama , para filosof . Mereka mengatakan bahwa al – Qur’an datang dengan metode instruksional dan premis – premis yang dapat diterima di masyarakat . Mereka menegaskan bahwa diri mereka adalah kelompok pakar di bidang argumentasi dan keyakinan , sedang metode aqidah adalah argumentasi dan keyakinan .
Kedua , para pakar Ilmu Kalam , yaitu Mu’tazilah . Mereka mengemukakan berbagai kesimpulan yang rasional sebelum mengadakan penalaran terhadap ayat – ayat al – Qur’an. Mereka berpegang pada dua bentuk argumentasi tetapi mereka mendahulukan penalaran rasional daripada dalil al – Qur’an. . Mereka mentakwilkannya sesuai dengan tuntutan akal , sekalipun mereka tidak keluar dari aqidah al – Qur’an.
Ketiga kelompok ulama yang mengadakan penalaran terhadap aqidah yang terdapat pada al – Qur’an. Untuk diimani dan dalil – dalil yang terkandiung di dalamnya untuk digunakan . Dalil – dalil itu digunakan bukan karena merupakan dalil yang memberikan petunjuk dan bimbingan yang mengarahkan akal untuk mencari berbagai premis di sekitarnya , melainkan karena merupakan sejumlah ayat informatif yang isinya wajib diimani , tanpa menjadikanyya sebagai premis bagi istinbath aqli . Kelihatannya Ibnu Taimiyah meletakkan Maturidiyyah pada kategori ini , karena Maturidiyyah menggunakan akal untuk memahami aqidah yang terdapat dalam al – Qur’an.
Keempat kelompok orang yang beriman kepada al – Qur’an. Baik aqidah maupun dalilnya , tetapi mempergunakannya dalil rasional di samping dalil al – Qur’an. Itu . Kelihatanyya Ibnu Taimiyah memasukkan Asy’ariyyah ke dalam kategori ini .
Setelah pembagian ini Ibnu Taimiyah
menegaskan bahwa metode Salaf bukanlah salah satu dari empat kategori diatas ,
karena aqidah dan dalil – dalilnya hanya dapat diambil dari Nash . Mereka
itulah kelompok Salaf yang tidak percaya kepada akal , sebab akal dapat
menyesatkan . Mereka hanya percaya kepada nash dan dalil – dalil yang
diisyaratkan oleh nash , sebab ia merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi .
Mereka juga menegaskan bahwa berbagai pola pemikiran rasional itu merupakan hal
yang baru dalam Islam yang tidak pernah dikenal secara pasti dikalangan para
sahabat dan tabi’in . Bila kita mengatakan bahwa metode rasional merupakan
kebutuhan primer untuk memahami aqidah islam , maka konsekuensinya kaum Salaf
itu tidak dapat memahami aqidah sesuai dengan yang diharapkan dan tidak dapat
menjangkau dalil – dalil nash secara optimal .
Sehubungan dengan hal ini Ibnu
Taimiyah mengatakan , “ Mereka mengatakan bahwa Rasulullah tidak mengetahui
makna ayat – ayat yang diturunkan kepadanya . Para sahabat juga tidak
memahaminya . Konsekuensi dari perkataan mereka ialah bahwa beliau tidak
mengerti makna hadits tentang sifat – sifat Allah yang dibicarakan beliau
sendiri . Lebih jauh lagi , beliau berbicara dengan suatu pembicaraan yang
tidak dimengertinya sendiri .”
Dari sini Salaf , sebagaimana
disimpulkan oleh Ibnu Taimiyah , berpendapat bahwa tidak ada jalan untuk
mengetahui aqidah , hukum – hukum dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya
, baik dari segi I’tiqad maupun Istidlal-nya kecuali dari al – Qur’an
dan Sunnah yang menjelaskannya . Apa saja yang ditegaskan al – Qur’an. Dan apa saja yang ditegaskan Sunnah harus diterima , tidak boleh ditolak guna menghilangkan
keragu –raguan. Akal manusia tidak mempunyai otoritas untuk mentakwilkan al –
Qur’an , menginterpretasikannya , atau men-takhrij-nya
, kecuali sekedar ditunjukkan oleh berbagai susunan kalimat al – Qur’an. Dan yang terkandung dalam berbagai hadits.
Bila sesudah itu akal mempunyai otoritas , maka hal itu hanya berkenaan dengan
pembenaran dan kesadaran , menegaskan kedekatan hal yang manqul ( Tersebut dalam dalil naqli ) dengan yang rasional dan tidak ada
pertentangan antara keduanya . Akal hanya menjadi bukti , bukan pemutus . Ia
menjadi penegas dan penguat , bukan pembatal atau penolak . Ia menjadi penjelas
terhadap dalil – dalil yang terkandung dalam al – Qur’an.
Inilah metode Salaf , yaitu
menempatkan akal berjalan di belakang dalil
naqli , mendukung dan menguatkannya . Akal tidak beridi sendiri untuk
dipergunakan menjadi dalil , tetapi ia mendekatkan makna – makna nash .
C. PEMIKIRAN – PEMIKIRAN KAUM SALAF
Dengan
ringkas orang menyebutkan , bahwa
persoalan antara Asy’ari dan Salaf beredar sekitar pendidikan menyatukan Tuhan
( wahdaniyat ) yang sebulat –
bulatnya . Orang – orang Salaf menganggap persoalan wahdaniyat ini adalah dasar pertama dari Islam . Persoalan ini
dibagi atas 3 pembicaraan :
1. Wahdaniyat zat dan sifat .
Semua aliran islam sependapat , bahwa Allah Ta’ala itu satu
tunggal , tidak dapat diperbandingkan dengan sesuatu dan dia mendengar serta
melihat . Adapun Istilah yang masing – masing berbunyi :
Tauhid : Menunggalkan
Tanzih : Membersihkan
Tasybih : Menyerupakan
Tadjsim : Memberi badan atau bentuk kepada Tuhan ,
Tauhid : Menunggalkan
Tanzih : Membersihkan
Tasybih : Menyerupakan
Tadjsim : Memberi badan atau bentuk kepada Tuhan ,
Adalah perkataan – perkataan yang
diucapkan oleh aliran – aliran kedalam Islam . Segolongan melekatkan suatu
pengertian yang khusus untuk perkataan – perkataan itu , yang berlainan dengan
aliran lain . Mu’tazilah umpamanya menghendaki tauhid dan tanzih menghilangkan
semua sifat Tuhan , dan dengan tadjsim dan tasybih menetapkan sifat – sifat itu
kepada Tuhan. Jika orang mengatakan bahwa Tuhan melihat atau bahwa sifat Tuhan
berbicara , mereka lalu menganggap bahwa Tuhan itu diberi tadjsim seperti
manusia , sehingga banya aliran – aliran ahli kalam itu menghendaki dengan
pembelaanya tentang tauhid dan tanzih itu menghilangkan sifat – sifat
chabariyah dan dengan tadjsim dan tasybih menetapkannya .
Ahli – ahli Filsafat filsafat mempunyai
pengertian tentang tauhid yang berlainan dengan apa yang dimaksud Mu’tazilah .
Mereka menetapkan Tuhan tidak mempunyai sifat kecuali jenis salbiyah ,
idhafiyah , atau yang disusun daripada itu . Yang dikehendaki dengan sifat
salbiyah seperti qidam , tidak ada permulaan dan baqa kekal , tidak ada
penghabisan dan yang dikehendaki dengan idhfiyah ialah seperti sifat pengasuh sekalian
alam , pencipta langit dan bumi , dan yang dikehendaki dengan sifat murakkabah
, yang tersusun dari kedua sifat itu ialah segala sifat yang menentang segala
yang baru dari Tuhan .
Pertikaian
paham ulama – ulama dalam pengertian – pengertian seperti itu tidaklah dapat
dihukum mengkafirkan satu sama lain , karena pertikaian itu merupakan perlainan
pandangan , bukan pertikaian hakiki, dan oleh karena itu orang – orang Salaf
tidak mau mengkafirkan orang yang berlainan pendat dengan mereka , Cuma
menamakannya orang – orang yang menyeleweng , yang kedalamnya dimasukkan ahli
filsafat , aliran –aliran Mu’tazilah dan orang – orang Sufi , yang
memperjuangkan ittihad , bersatu dengan
Tuhan dan fana dalam zat Tuhan .
Jika Ibnu
Taimiyah menuduh aliran – aliran diatas ini orang – orang yang menyeleweng ,
lalu timbul pertanyaan , bagaimanakah pendirian aliran Salaf yang tidak
menyeleweng itu ? Ibnu Taimiyah menerangkan , bahwa madzhab Salaf dengan tidak
ragu – ragu kebenaran Islam dengan mengimani semua yang ada dalam Qur’an dan
Sunnah daripada sifat , cerita , berita dan nama , hal dan keadaan Tuhan
sebagaimana dijelaskan . Mereka yakin , bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah ,
hidup dan tegak , mereka yakin bahwa Allah itu tunggal , lengkap , dan cakap ,
tidak beranak dan tidak diperanakkan , tidak ada yang sama dengan dia , mereka
mengaku bahwa Tuhan mengetahui lagi bijaksana , pengampun dan pengasih ,
pengampun dan bermurah hati , mempunyai arasy yang jaya , berbuat apa yang
dikehenaknya , Tuhan itu awal dan akhir , lahir dan bathin mengetahui segala
sesuatu , dia yang menciptakan Langit dan Bathin , mengetahui segala sesuatu ,
dia yang menjadikan langit dan bumi dalam 6 hari kemudian bersemayam di Arsy
mengetahui apa yang terjadi yang di bumi dan apa yang yang terjadi di luar bumi
, yang turun dari langit dan yang terjadi dengan itu , ia bersana ia kamu
dimana kamu berada ia melihay apa yang kamu kerjakan , percaya akan Firman
Allah SWT yang menceritakan bahwa Tuhan marah marah kepada orang kafir dan
tidak menerima amalannya , rela kepaada orang mu’min , marah kepada orang yang
tidak percaya dan melaknatinya , menentang dosa besarnya , Tuhan melindungi
orang – orang yang beriman dan Malaikat dengan awan – awannya , Tuhan
menjadikan bumi arasy , yang kemudian diangkat kelangit berupa asap , bumi dan
langit tunduk kepadanya baik sukarela atau terpaksa , dll yang tersebut ayat –
ayat Qur’an yang tidak terhitung banyaknya , mengenai zat , asma , sifat dan
af’al Tuhan . Orang Salaf percaya kepada kesemuanya itu dengan tidak membantah
dan mentafsir atau mentakwilnya untuk disesuaikan dengan akal manusia .
Dengan keyakinan ini orang – orang Salaf itu menetapkan
kepercayaannya kepada apa yang disampaikan didalam Qur’an dan Sunnah mengenai
sifat sifat Tuhan penonjolannya kepada manusia .
2. Wahdaniyat al-Khalqi.
Menurut
paham aliran salaf, yang dimaksud dengan wahdaniyat al-khalqi adalah bahwa
Allah satu-satunya pencipta, tidak ada pencipta lain menandingi atau
membantu-Nya dalam berbagai penciptaan. Dengan kata lain segala sesuatu yang
ada di langit dan di bumi, apa yang ada didalamnya dan diantara keduannya,
adalah ciptaan Allah seorang diri, tanpa sekutu dalam penciptaan-Nya dan tidak
ada pula persekutuan kekuasaan-Nya. Allah Maha Kuasa, tidak sesuatu mahlukpun
yang dapat menantang kehendak-Nya atau menemani-Nya dalam penciptaan segala
sesuatu. Semua mahluk dan segala perbuatannya adalah ciptaan Allah, kepada-Nya
segala sesuatu akan kembali.
Para
mutakalimin selain aliran salaf berbeda pendapat, seperti mu’tazilah condrong
kepada paham qadariyah, memandang manusia bebas dan perbuatannya adalah
perbuatan sendiri , manusia bebas melakukan pilihan antara
mengerjakan atau tidak mengerjakan.
Perbuatan semacam ini menurut mu’tazilah lebih pantas dikatakan ciptaan manusia
sendiri dari pada dikatakan ciptaan Tuhan Sementara asy’ariyah
condrong kepada paham jabariah yang memandang manusia tidak bebas dan
perbuatanya adalah perbuatan Allah secara hakiki dan perbuatan manusia secara
majazi. Persoalan tentang wahdaniyat al-khalqi ini memunculkan pembicaraan
mengenai perbuatan manusia (af’al al-‘ibad). Persolannya apakah perbuatan
manusia itu perbuatannya sendiri atau perbuatan Allah, dalam arti ciptaan Allah
hal ini kelanjutan dari masalah jabar dan ikhtiar.
Lebih
lanjut menurut Ibnu Taimiyah masalah jabar dan ikhtiar itu ada tiga hal.
Pertama Allah sebagai pencipta satu-satunya, sesuai dengan kehendak-Nya. Hal
ini beliau lebih dekat kepada paham jabariah. Kedua manusia sebagai pelaksana
yang sesungguhnya, manusia mempunyai kehendak yang timbul dari kemauan sendiri
yang membuatnya harus bertanggung jawab atas segala yang dilakukan . Dalam
masalah ini beliau lebih condrong dengan pendapat mu’tazilah. Ketiga Allah yang
menciptakan perbuatan baik dan Allah meridhai serta menyukainya, sebaliknya
Allah tidak menyetujui perbuatan jahat. Masalah ini beliau berbeda pendapat
dengan mu’tazilah.
Dari
masalah tersebut diatas Ibnu Taimiyah mencoba mengkompromikan dari pernyataan
yang saling kontradiksi ini dan menjelaskan pula bagaimana keadilan Allah
antara menyiksa orang yang berbuat jahat dan memberi pahala bagi orang yang
berbuat baik, apabila semua perbuatan itu dipandang perbuatan Allah. Dalam hal
ini menurut Ibnu Taimiyah adanya kemutlakan kekuasaan serta kehendak Allah,
Allah menciptakan perbuatan manusia dan segala kekuatan atau daya yang ada
padanya.Manusia sebenarnya hanya pelaku saja, sedang yang menciptakan perbuatan
manusia adalah Allah, manusia mempunyai kebebasan dan kehendak terhadap
perbuatan-perbuatan mereka, sedangkan Allah adalah pencipta mereka, pencipta
kebebasan dan kehendak mereka.
Dengan
demikian Ibnu Taimiyah menyandarkan perbuatann hamba kepada Allah dalam arti
Allahlah yang menciptakan sebab dan daya yang diciptakan pada diri manusia .
Disini Ibnu Taimiyah pendapatnya lebih dekat kepada paham mu’tazilah, namun
yang membedakan bahwa perbuatan baik dan buruk manusia, hal ini berkaitan dengan
ridha, mahabbah dan iradah Allah. Perbuatan baik manusia adalah kehendak Allah,
disenangi dan diridhai-Nya. Sebaliknya perbuatan buruk manusia itu juga
dikehendaki Allah, tetapi tidak disenangi dan diridhai-Nya, malah Allah
membenci serta melarang perbuatan itu.
3.
Wahdaniyat
al-Ma’bud (Keesaan Ibadah)
Wahdaniyyah dalam ibadah berarti seorang hamba
tidak mengarahkan ibadahnya kepada selain Allah . Wahdaniyyah tersebut menuntut dua hal , yaitu :
Pertama , seseorang tidak menyembah selain
Allah dan tidak mengakui ketuhanan selain Allah . Siapa pun yang menyekutukan
seseorang atau suatu bersam Allah , maka ia telah Musyrik . Barangsiapa
mempersamakan antara makhluk dan Sang Pencipta dalam suatu ibadah , maka ia
telah menjadikan Tuhan lain bersama Allah , sekalipun ia meyakini keesaan Sang
Pencipta . Keyakinan mereka sama dengan orang – orang musyrik Arab yang
mengakui bahwa Allah – lah Pencipta langit dan bumi , sebagaimana dinyatakan
dalam firman Allah ,
وَلَئِن
سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ قُلِ ٱلۡحَمۡدُ
لِلَّهِۚ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ٢٥
25. Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan
kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu
mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi
Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui
( QS LUQMAN , 31 : 25 ) .
Kendatipun demikian mereka disebut
sebagai orang – orang musyrik , karena mereka menyembah tuhan lain bersama
dengan Allah .
Kedua
, kita menyembah Allah berdasarkan apa yang telah disyari’atkan-Nya melalui
para Rasul-Nya . Kita tidak menyembah Allah kecuali dengan ibadah yang wajib ,
yang sunat, atau sesuatu yang mubah serta dimaksudkan untuk ketaatan dan
kesyukuran kepada Allah . Ibnu Taimiyah berkata , “ Doa termasuk bagian dari
ibadah . Maka barangsiapa yang berdoa kepada makhluk , baik yang masih hidup
maupun yang telah meninggal dunia dan meminta bantuan kepada mereka , berarti
ia telah membuat – buat suatu bid’ah dalam agama , mempersekutukan Tuhan
semesta alam dan mengikuti jalan orang – orang yang tidak beriman. Barangsiapa
memohon kepada Allah melalui perantara makhluk , atau bersumpah kepada Allah
dengan nama makhluk , maka ia telah membuat suatu bid’ah . ”
Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai pemegang panji mazhab ulama Salaf mendasarkan hal ini pada tiga hal . Pertama , larangan mendekatkan diri kepada Allah melalui orang – orangsaleh dan para wali . Kedua , larangan meminta pertolongan dan mendekatkan diri kepada Allah melalui ( tawassul ) orang – orang yang telah meninggal dunia dan lainnya . Ketiga , larangan berziarah ke makam orang – orang saleh dan para Nabi untuk meminta berkah dan mengkultuskannya .
Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai pemegang panji mazhab ulama Salaf mendasarkan hal ini pada tiga hal . Pertama , larangan mendekatkan diri kepada Allah melalui orang – orangsaleh dan para wali . Kedua , larangan meminta pertolongan dan mendekatkan diri kepada Allah melalui ( tawassul ) orang – orang yang telah meninggal dunia dan lainnya . Ketiga , larangan berziarah ke makam orang – orang saleh dan para Nabi untuk meminta berkah dan mengkultuskannya .
BAB III
KESIMPULAN
Hasil
dari pemaparan yang telah dipaparkan bahwasanya paham aliran Salaf yang
memiliki pengikutnya yang bisa dikatakan Salafiyah yakni dalam segi metode
berpikirnya tidak mempercayai akal sebagai titik tolak menetapkan suatu
keputusan mengenai Teologi namun Salaf dalam hal ini lebih mengedepankan dalil
– dalil Qur’an dan Sunnah dalam menetapkan suatu hukumnya dengan dalih ingin
menggairahkan kembali semangat ajaran Islam seperti sedia kala ketika masa
Rasul , Sahabat , dan para pengikut dari para Sahabat tidak mau rumitnya untuk berpikir secara
falsafi seperti aliran sebelumnya Mu’tazilah .
Daftar
Pustaka
Sheikh al-Islam Ibn Taymiyah - One of the best Muslim
scholars.
The Idea of Pakistan, By Stephen P. Cohen ISBN 0-8157-1502-1
- Page 183.
Prof . Dr .Imam Muhammad Abu Zahra . 1996 . Aliran poitik dan Aqidah dalam Islam .
Jakarta Selatan : Logos Publishing House .
Abu Bakar Atjeh . 1966. Ilmu
Ketuhanan ( Ilmu Kalam ). Jakarta :
Tintamas

Komentar
Posting Komentar