Teologi Pemikiran dalam Sekte Salafiyah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awalnya ilmu kalam lahir banyak persoalan yang timbul dikalangan masyarakat, yang diawali dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib setelah terbunuhnya Utsman dan Ali maka lahirlah pemikiran-pemikiran para ulama, karena manusia memiliki pemikiran yang berbeda-beda maka timbullah banyak pemikiran-pemikiran atau aliran-aliran oleh para ulama diantaranya ialah Aliran Khawarij, Aliran Murji’ah, Aliran Mu’tazilah, Aliran As’ariyah, Aliran Syi’ah, Aliran Qadariyah, Aliran Salafiyah, dan Aliran-aliran lainnya.
Disini kita akan menggali lebih dalam tentang pemikiran yang mereka jalani, aliran-aliran tersebut masing-masing mempunyai landasan yang dijadikan dasar mereka dalam berhujjah, baik itu al-Qur’an maupun Hadits. Karena pertemuan sebelumnya telah di jelaskan tentang aliran-aliran teologi yang lainnya maka pemakalah disini akan melanjutkannya  tentang aliran selanjutnya yaitu Aliran Salafiyah.
B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Asal-usul dan sejarah aliran salafiyah?
2.      Apa metode pikir aliran salaf?
3.      Bagaimana pemikiran kalam aliran salafiyah?
BAB II

PEMBAHASAN
ALIRAN SALAF
A.    ASAL – USUL DAN SEJARAH SALAF
Istilah salafy ini telah digunakan sejak zaman Rasulullah sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadis yang shahih disebutkan bahwa ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam ditimpa penyakit yang menyebabkan kematiannya, beliau berkata kepada Fathimah Radhiallahu anha: “Bertakwalah kepada Allah (wahai Fathimah) dan bersabarlah. Dan aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu.”
Kata salafiyah diambil dari kata "Salaf" adalah kependekan dari "Salaf al-Ṣāliḥ" (Arab: السلف الصالح) yang berarti "pendahulu yang sholih". Dalam terminologi Islam, secara umum digunakan untuk menunjuk kepada tiga generasi terbaik umat muslim yaitu sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in. Ketiga generasi inilah dianggap sebagai contoh terbaik dalam menjalankan syariat Islam. Terdapat dalam sebuah hadits :
"Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku (para sahabat) kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi'in) kemudian orang-orang setelah mereka (tabi'ut tabi'in)." Hadits riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya.
Pokok ajaran dari ideologi dasar salafi adalah bahwa Islam telah sempurna dan selesai pada waktu masa Muhammad dan para sahabatnya, oleh karena itu tidak diperbolehkan adanya inovasi atau tambahan dalam syariat Islam karena pengaruh adat dan budaya. Paham ideologi Salafi berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam yang sesuai dengan agama Muhammad pertama kali berdakwah.
Salafisme juga telah digambarkan sebagai sebuah versi sederhana dan pengetahuan Islam, di mana penganutnya mengikuti beberapa perintah dan praktik yang hanya sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad.
Salafiyyah ialah orang – orang yang mengidentifikasikan pemikiran mereka dengan pemikiran para salaf  . Mereka terdiri dari ulama Salaf . Mereka muncum pendapat bahwa garis besar mereka bermuara pada pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbali yang menghidupkan aqidah ulama salaf dan berusaha memerangi paham lainnya .
Aliran Salaf ini lahir kembali dalam abad ke IV H . , digerakkan oleh penganut – penganut Hanbali , yang mengaku bahwa keyakinan berdasarkan pendirian Ahmad bin Hanbal , yang mula – mula ingin menghidupkan kembali ajran islam menurut keyakinan Salaf dan membasmi aliran – aliran yang bertentangan dengan itu .
            Aliran Salaf ini digerakkan kembali dalam abad yang ke VII H . Oleh Ibn Taimiyah , yang menjadikan aliran itu bahan terpenting dalam penyiaran agamanya . Keyakinan ini mendapat sambutan dalam ke XII H . Dari Muhammad bin Abdulwahab , yang dengan bantuan keluarga raja Alsa’ud menyiarkan agama ini dengan kekerasan .
            Pembicaraanya berputar sekitar tauhid , perkara penta’wilan ayat – ayat mutasyabihat dalam Qur’an , perkara berdo’a di kuburan  , masalah – masalah yang sebenarnya sudah pernah lahir dalam abad yang ke IV H .
            Selanjutnya pada abad ke – 12 Hijriah pemikiran serupa muncul kembali di Jazirah Arab , dihidupkan oleh Muhammad ibn’Abdul Wahhab . Kaum Wahabi ini terus – menerus mengkampanyekannya sehingga membangkitkan amarah sebagian ulama . Oleh karena itu , harus ada penjelasan mengenai paham ini
            Ulama mazhab Hanbali menyinggung pembicaraan tentang tauhid dan hubungannya dengan kubur . Mereka berbicara tentang ayat – ayat takwil dan tasybih . Hal inilah yang mereka munculkan pertama kali pada abad ke – 4 Hijriah . Mereka mengidentifikasikan pembicaraan mereka ini kepada pendapat Imam Ahmad ibn Hanbali . Identifikasi ini didiskusikan oleh sebahagian tokoh – tokoh mazhab itu .
B.     METODE BERPIKIR KAUM SALAF
            Kita telah mengetahui bahwa dalam menerangkan aqidah Islam serta berdialog dan berdiskusi , Mu’tazilah menempuh metode falsafi yang mereka tiru dari logika Yunani . membela Islam merupakan motivator bagi mereka untuk menempuh metode ini  . Dalam metode falsafi ini , mereka didampingi oleh Asy’ariyyah dan Maturidiyyah . Dua aliran yang disebut terakhir dekat dengan yang pertama dalam sebagian besar kesimpulan yang mereka hasilkan , sekalipun mereka juga mengeritik aliran pertama mengenai hisab .
            Kaum Salaf datang menentang penggunaan metode itu . Mereka menginiginkan agar pengkajian aqidah kembali pada prinsip – prinsip yang dipegang oleh para sahabat dan tabi’in . Mereka mengambil prinsip – prinsip aqidah dan dalil – dalil yang mendasarinya dari al – Qur’an dan Sunnah , serta melarang ulama untuk mempertanyakan dalil – dalil al – Qur’an itu.
            Ibnu Taimiyah yang merumuskan metode kelompok ini membagi ulama dalam memahami aqidah Islam ke dalam 4 kategori , yaitu :
            Pertama
, para filosof . Mereka mengatakan bahwa al – Qur’an datang dengan metode instruksional dan premis – premis yang dapat diterima di masyarakat . Mereka menegaskan bahwa diri mereka adalah kelompok pakar di bidang argumentasi dan keyakinan , sedang metode aqidah adalah argumentasi dan keyakinan . 
            Kedua
, para pakar Ilmu Kalam , yaitu Mu’tazilah . Mereka mengemukakan berbagai kesimpulan yang rasional sebelum mengadakan penalaran terhadap ayat – ayat al – Qur’an. Mereka berpegang pada dua bentuk argumentasi tetapi mereka mendahulukan penalaran rasional daripada dalil al – Qur’an. . Mereka mentakwilkannya sesuai dengan tuntutan akal , sekalipun mereka tidak keluar dari aqidah al – Qur’an.
            Ketiga
 kelompok ulama yang mengadakan penalaran terhadap  aqidah yang terdapat pada al – Qur’an. Untuk diimani dan dalil – dalil yang terkandiung di dalamnya untuk digunakan . Dalil – dalil itu digunakan bukan karena merupakan dalil yang memberikan petunjuk dan bimbingan yang mengarahkan akal untuk mencari berbagai premis di sekitarnya , melainkan karena merupakan sejumlah ayat informatif yang isinya wajib diimani , tanpa menjadikanyya sebagai premis bagi istinbath aqli . Kelihatannya Ibnu Taimiyah meletakkan Maturidiyyah pada kategori ini , karena Maturidiyyah menggunakan akal untuk memahami aqidah yang terdapat dalam al – Qur’an.
            Keempat
kelompok orang yang beriman kepada al – Qur’an. Baik aqidah maupun dalilnya , tetapi mempergunakannya dalil rasional di samping dalil al – Qur’an. Itu . Kelihatanyya Ibnu Taimiyah memasukkan Asy’ariyyah ke dalam kategori ini .
            Setelah pembagian ini Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa metode Salaf bukanlah salah satu dari empat kategori diatas , karena aqidah dan dalil – dalilnya hanya dapat diambil dari Nash . Mereka itulah kelompok Salaf yang tidak percaya kepada akal , sebab akal dapat menyesatkan . Mereka hanya percaya kepada nash dan dalil – dalil yang diisyaratkan oleh nash , sebab ia merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi . Mereka juga menegaskan bahwa berbagai pola pemikiran rasional itu merupakan hal yang baru dalam Islam yang tidak pernah dikenal secara pasti dikalangan para sahabat dan tabi’in . Bila kita mengatakan bahwa metode rasional merupakan kebutuhan primer untuk memahami aqidah islam , maka konsekuensinya kaum Salaf itu tidak dapat memahami aqidah sesuai dengan yang diharapkan dan tidak dapat menjangkau dalil – dalil nash secara optimal .
            Sehubungan dengan hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan , “ Mereka mengatakan bahwa Rasulullah tidak mengetahui makna ayat – ayat yang diturunkan kepadanya . Para sahabat juga tidak memahaminya . Konsekuensi dari perkataan mereka ialah bahwa beliau tidak mengerti makna hadits tentang sifat – sifat Allah yang dibicarakan beliau sendiri . Lebih jauh lagi , beliau berbicara dengan suatu pembicaraan yang tidak dimengertinya sendiri .”
            Dari sini Salaf , sebagaimana disimpulkan oleh Ibnu Taimiyah , berpendapat bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui aqidah , hukum – hukum dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya , baik dari segi I’tiqad maupun Istidlal-nya kecuali dari al – Qur’an dan Sunnah yang menjelaskannya . Apa saja yang ditegaskan al – Qur’an.  Dan apa saja yang ditegaskan  Sunnah harus diterima  , tidak boleh ditolak guna menghilangkan keragu –raguan. Akal manusia tidak mempunyai otoritas untuk mentakwilkan al – Qur’an , menginterpretasikannya , atau men-takhrij-nya , kecuali sekedar ditunjukkan oleh berbagai susunan kalimat al – Qur’an.  Dan yang terkandung dalam berbagai hadits. Bila sesudah itu akal mempunyai otoritas , maka hal itu hanya berkenaan dengan pembenaran dan kesadaran , menegaskan kedekatan hal yang manqul ( Tersebut dalam dalil naqli  ) dengan yang rasional dan tidak ada pertentangan antara keduanya . Akal hanya menjadi bukti , bukan pemutus . Ia menjadi penegas dan penguat , bukan pembatal atau penolak . Ia menjadi penjelas terhadap dalil – dalil yang terkandung dalam al – Qur’an. 
            Inilah metode Salaf , yaitu menempatkan akal berjalan di belakang dalil naqli , mendukung dan menguatkannya . Akal tidak beridi sendiri untuk dipergunakan menjadi dalil , tetapi ia mendekatkan makna – makna nash .
C.    PEMIKIRAN – PEMIKIRAN KAUM SALAF
Dengan ringkas orang menyebutkan  , bahwa persoalan antara Asy’ari dan Salaf beredar sekitar pendidikan menyatukan Tuhan ( wahdaniyat ) yang sebulat – bulatnya . Orang – orang Salaf menganggap persoalan wahdaniyat ini adalah dasar pertama dari Islam . Persoalan ini dibagi atas 3 pembicaraan :
1.     Wahdaniyat zat dan sifat .
Semua aliran islam sependapat , bahwa Allah Ta’ala itu satu tunggal , tidak dapat diperbandingkan dengan sesuatu dan dia mendengar serta melihat . Adapun Istilah yang masing – masing berbunyi :
Tauhid             : Menunggalkan
Tanzih             : Membersihkan
Tasybih            : Menyerupakan
Tadjsim           : Memberi badan atau bentuk kepada Tuhan ,
Adalah perkataan – perkataan yang diucapkan oleh aliran – aliran kedalam Islam . Segolongan melekatkan suatu pengertian yang khusus untuk perkataan – perkataan itu , yang berlainan dengan aliran lain . Mu’tazilah umpamanya menghendaki tauhid dan tanzih menghilangkan semua sifat Tuhan , dan dengan tadjsim dan tasybih menetapkan sifat – sifat itu kepada Tuhan. Jika orang mengatakan bahwa Tuhan melihat atau bahwa sifat Tuhan berbicara , mereka lalu menganggap bahwa Tuhan itu diberi tadjsim seperti manusia , sehingga banya aliran – aliran ahli kalam itu menghendaki dengan pembelaanya tentang tauhid dan tanzih itu menghilangkan sifat – sifat chabariyah dan dengan tadjsim dan tasybih menetapkannya .
             Ahli – ahli Filsafat filsafat mempunyai pengertian tentang tauhid yang berlainan dengan apa yang dimaksud Mu’tazilah . Mereka menetapkan Tuhan tidak mempunyai sifat kecuali jenis salbiyah , idhafiyah , atau yang disusun daripada itu . Yang dikehendaki dengan sifat salbiyah seperti qidam , tidak ada permulaan dan baqa kekal , tidak ada penghabisan dan yang dikehendaki dengan idhfiyah ialah seperti sifat pengasuh sekalian alam , pencipta langit dan bumi , dan yang dikehendaki dengan sifat murakkabah , yang tersusun dari kedua sifat itu ialah segala sifat yang menentang segala yang baru dari Tuhan .
            Pertikaian paham ulama – ulama dalam pengertian – pengertian seperti itu tidaklah dapat dihukum mengkafirkan satu sama lain , karena pertikaian itu merupakan perlainan pandangan , bukan pertikaian hakiki, dan oleh karena itu orang – orang Salaf tidak mau mengkafirkan orang yang berlainan pendat dengan mereka , Cuma menamakannya orang – orang yang menyeleweng , yang kedalamnya dimasukkan ahli filsafat , aliran –aliran Mu’tazilah dan orang – orang Sufi , yang memperjuangkan  ittihad , bersatu dengan Tuhan dan fana dalam zat Tuhan .
            Jika Ibnu Taimiyah menuduh aliran – aliran diatas ini orang – orang yang menyeleweng , lalu timbul pertanyaan , bagaimanakah pendirian aliran Salaf yang tidak menyeleweng itu ? Ibnu Taimiyah menerangkan , bahwa madzhab Salaf dengan tidak ragu – ragu kebenaran Islam dengan mengimani semua yang ada dalam Qur’an dan Sunnah daripada sifat , cerita , berita dan nama , hal dan keadaan Tuhan sebagaimana dijelaskan . Mereka yakin , bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah , hidup dan tegak , mereka yakin bahwa Allah itu tunggal , lengkap , dan cakap , tidak beranak dan tidak diperanakkan , tidak ada yang sama dengan dia , mereka mengaku bahwa Tuhan mengetahui lagi bijaksana , pengampun dan pengasih , pengampun dan bermurah hati , mempunyai arasy yang jaya , berbuat apa yang dikehenaknya , Tuhan itu awal dan akhir , lahir dan bathin mengetahui segala sesuatu , dia yang menciptakan Langit dan Bathin , mengetahui segala sesuatu , dia yang menjadikan langit dan bumi dalam 6 hari kemudian bersemayam di Arsy mengetahui apa yang terjadi yang di bumi dan apa yang yang terjadi di luar bumi , yang turun dari langit dan yang terjadi dengan itu , ia bersana ia kamu dimana kamu berada ia melihay apa yang kamu kerjakan , percaya akan Firman Allah SWT yang menceritakan bahwa Tuhan marah marah kepada orang kafir dan tidak menerima amalannya , rela kepaada orang mu’min , marah kepada orang yang tidak percaya dan melaknatinya , menentang dosa besarnya , Tuhan melindungi orang – orang yang beriman dan Malaikat dengan awan – awannya , Tuhan menjadikan bumi arasy , yang kemudian diangkat kelangit berupa asap , bumi dan langit tunduk kepadanya baik sukarela atau terpaksa , dll yang tersebut ayat – ayat Qur’an yang tidak terhitung banyaknya , mengenai zat , asma , sifat dan af’al Tuhan . Orang Salaf percaya kepada kesemuanya itu dengan tidak membantah dan mentafsir atau mentakwilnya untuk disesuaikan dengan akal manusia .
Dengan keyakinan ini orang – orang Salaf itu menetapkan kepercayaannya kepada apa yang disampaikan didalam Qur’an dan Sunnah mengenai sifat sifat Tuhan penonjolannya kepada manusia .
2.      Wahdaniyat al-Khalqi.
Menurut paham aliran salaf, yang dimaksud dengan wahdaniyat al-khalqi adalah bahwa Allah satu-satunya pencipta, tidak ada pencipta lain menandingi atau membantu-Nya dalam berbagai penciptaan. Dengan kata lain segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, apa yang ada didalamnya dan diantara keduannya, adalah ciptaan Allah seorang diri, tanpa sekutu dalam penciptaan-Nya dan tidak ada pula persekutuan kekuasaan-Nya. Allah Maha Kuasa, tidak sesuatu mahlukpun yang dapat menantang kehendak-Nya atau menemani-Nya dalam penciptaan segala sesuatu. Semua mahluk dan segala perbuatannya adalah ciptaan Allah, kepada-Nya segala sesuatu akan kembali. 
Para mutakalimin selain aliran salaf berbeda pendapat, seperti mu’tazilah condrong kepada paham qadariyah, memandang manusia bebas dan perbuatannya adalah perbuatan sendiri , manusia bebas melakukan pilihan antara
mengerjakan atau tidak mengerjakan. Perbuatan semacam ini menurut mu’tazilah lebih pantas dikatakan ciptaan manusia sendiri dari pada dikatakan ciptaan  Tuhan Sementara asy’ariyah condrong kepada paham jabariah yang memandang manusia tidak bebas dan perbuatanya adalah perbuatan Allah secara hakiki dan perbuatan manusia secara majazi. Persoalan tentang wahdaniyat al-khalqi ini memunculkan pembicaraan mengenai perbuatan manusia (af’al al-‘ibad). Persolannya apakah perbuatan manusia itu perbuatannya sendiri atau perbuatan Allah, dalam arti ciptaan Allah hal ini kelanjutan dari masalah jabar dan ikhtiar. 
Lebih lanjut menurut Ibnu Taimiyah masalah jabar dan ikhtiar itu ada tiga hal. Pertama Allah sebagai pencipta satu-satunya, sesuai dengan kehendak-Nya. Hal ini beliau lebih dekat kepada paham jabariah. Kedua manusia sebagai pelaksana yang sesungguhnya, manusia mempunyai kehendak yang timbul dari kemauan sendiri yang membuatnya harus bertanggung jawab atas segala yang dilakukan . Dalam masalah ini beliau lebih condrong dengan pendapat mu’tazilah. Ketiga Allah yang menciptakan perbuatan baik dan Allah meridhai serta menyukainya, sebaliknya Allah tidak menyetujui perbuatan jahat. Masalah ini beliau berbeda pendapat dengan mu’tazilah.
Dari masalah tersebut diatas Ibnu Taimiyah mencoba mengkompromikan dari pernyataan yang saling kontradiksi ini dan menjelaskan pula bagaimana keadilan Allah antara menyiksa orang yang berbuat jahat dan memberi pahala bagi orang yang berbuat baik, apabila semua perbuatan itu dipandang perbuatan Allah. Dalam hal ini menurut Ibnu Taimiyah adanya kemutlakan kekuasaan serta kehendak Allah, Allah menciptakan perbuatan manusia dan segala kekuatan atau daya yang ada padanya.Manusia sebenarnya hanya pelaku saja, sedang yang menciptakan perbuatan manusia adalah Allah, manusia mempunyai kebebasan dan kehendak terhadap perbuatan-perbuatan mereka, sedangkan Allah adalah pencipta mereka, pencipta kebebasan dan kehendak mereka.
Dengan demikian Ibnu Taimiyah menyandarkan perbuatann hamba kepada Allah dalam arti Allahlah yang menciptakan sebab dan daya yang diciptakan pada diri manusia . Disini Ibnu Taimiyah pendapatnya lebih dekat kepada paham mu’tazilah, namun yang membedakan bahwa perbuatan baik dan buruk manusia, hal ini berkaitan dengan ridha, mahabbah dan iradah Allah. Perbuatan baik manusia adalah kehendak Allah, disenangi dan diridhai-Nya. Sebaliknya perbuatan buruk manusia itu juga dikehendaki Allah, tetapi tidak disenangi dan diridhai-Nya, malah Allah membenci serta melarang perbuatan itu.

3.     Wahdaniyat al-Ma’bud (Keesaan Ibadah)
Wahdaniyyah dalam ibadah berarti seorang hamba tidak mengarahkan ibadahnya kepada selain Allah . Wahdaniyyah tersebut menuntut dua hal , yaitu :
Pertama , seseorang tidak menyembah selain Allah dan tidak mengakui ketuhanan selain Allah . Siapa pun yang menyekutukan seseorang atau suatu bersam Allah , maka ia telah Musyrik . Barangsiapa mempersamakan antara makhluk dan Sang Pencipta dalam suatu ibadah , maka ia telah menjadikan Tuhan lain bersama Allah , sekalipun ia meyakini keesaan Sang Pencipta . Keyakinan mereka sama dengan orang – orang musyrik Arab yang mengakui bahwa Allah – lah Pencipta langit dan bumi , sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah ,
وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ قُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِۚ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ٢٥  
25. Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui
 ( QS LUQMAN , 31 : 25  ) .
            Kendatipun demikian mereka disebut sebagai orang – orang musyrik , karena mereka menyembah tuhan lain bersama dengan Allah .
            Kedua , kita menyembah Allah berdasarkan apa yang telah disyari’atkan-Nya melalui para Rasul-Nya . Kita tidak menyembah Allah kecuali dengan ibadah yang wajib , yang sunat, atau sesuatu yang mubah serta dimaksudkan untuk ketaatan dan kesyukuran kepada Allah . Ibnu Taimiyah berkata , “ Doa termasuk bagian dari ibadah . Maka barangsiapa yang berdoa kepada makhluk , baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia dan meminta bantuan kepada mereka , berarti ia telah membuat – buat suatu bid’ah dalam agama , mempersekutukan Tuhan semesta alam dan mengikuti jalan orang – orang yang tidak beriman. Barangsiapa memohon kepada Allah melalui perantara makhluk , atau bersumpah kepada Allah dengan nama makhluk , maka ia telah membuat suatu bid’ah . 
            Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai pemegang panji mazhab ulama Salaf mendasarkan hal ini pada tiga hal .  Pertama , larangan mendekatkan diri kepada Allah melalui orang – orangsaleh dan para wali . Kedua , larangan meminta pertolongan dan mendekatkan diri kepada Allah melalui ( tawassul ) orang – orang yang telah meninggal dunia dan lainnya . Ketiga , larangan berziarah ke makam orang – orang saleh dan para Nabi untuk meminta berkah dan mengkultuskannya .
BAB III
KESIMPULAN
            Hasil dari pemaparan yang telah dipaparkan bahwasanya paham aliran Salaf yang memiliki pengikutnya yang bisa dikatakan Salafiyah yakni dalam segi metode berpikirnya tidak mempercayai akal sebagai titik tolak menetapkan suatu keputusan mengenai Teologi namun Salaf dalam hal ini lebih mengedepankan dalil – dalil Qur’an dan Sunnah dalam menetapkan suatu hukumnya dengan dalih ingin menggairahkan kembali semangat ajaran Islam seperti sedia kala ketika masa Rasul , Sahabat , dan para pengikut dari para Sahabat   tidak mau rumitnya untuk berpikir secara falsafi seperti aliran sebelumnya Mu’tazilah .

Daftar Pustaka

Sheikh al-Islam Ibn Taymiyah - One of the best Muslim scholars.
The Idea of Pakistan, By Stephen P. Cohen ISBN 0-8157-1502-1 - Page 183.
Prof . Dr .Imam Muhammad Abu Zahra . 1996 . Aliran poitik dan Aqidah dalam Islam . Jakarta Selatan : Logos Publishing House .
Abu Bakar Atjeh . 1966. Ilmu Ketuhanan ( Ilmu Kalam  ). Jakarta : Tintamas

Komentar

Postingan Populer