FMN UIN SGD BANDUNG - MENENGOK NEGERI KITA
“MEMBEDAH AKAR PROBLEM POKOK RAKYAT AKAN FEODALISME SEBAGAI BASIS SOSIAL BAGI IMPERIALISME DI TENGAH SISTEM
SETENGAH JAJAHAN DAN SETENGAH FEODAL”
-FRONT MAHASISWA NASIONAL RANTING UIN SGD CAB
BANDUNG RAYA-
Apa itu Setengah Jajahan dan Setengah
Feodal?
Masyarakat Indonesia sekarang adalah masyarakat setengah
jajahan dan setengah feodal. Yaitu sebuah sistem masyarakat terbelakang yang
sengaja dipertahankan oleh imperialisme dan feodalisme. Imperialisme dan
segelintir klas reaksioner yang menjadi kaki tangannya di dalam negeri sengaja
mempertahankan sistem ini untuk keuntungan besar dan mempertahankan dominasi
sistem kapitalisme monopoli di dunia. Di bawah sistem setengah jajahan dan
setengah feodal, mayoritas rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan.
Imperialisme dan klas-klas reaksioner di dalam negeri tidak akan membiarkan
rakyat Indonesia membebaskan diri dari sistem ini dan menentukan nasibnya
sendiri. Dengan kata lain, rakyat harus dapat mengalahkan kekuatan
imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat agar dapat membangun sistem
kemasyarakatan baru yang tidak menindas dan menghisap secara ekonomi, politik
dan kebudayaan.
Karakter setengah jajahan dari negara Indonesia lahir
karena dominasi imperialisme, utamanya Amerika Serikat (AS) di Indonesia.
Imperialisme AS mendominasi perkembangan bangsa dan rakyat Indonesia dengan
membangun kekuasaan bersama antara klas borjuasi besar komprador dan tuan tanah
besar untuk menindas dan menghisap seluruh rakyat Indonesia. Negeri setengah jajahan
pada hakekatnya adalah negeri jajahan melalui pemerintah boneka imperialis AS
yang eksis di Indonesia.
-
Sejak
Kapan Sistem SJSF Berlangsung?
Sekalipun Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945, namun sejak Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1949
hingga saat ini, Indonesia bukanlah negeri yang berdaulat penuh yang memiliki
kemerdekaan dan kebebasan menentukan nasibnya sendiri. Imperialisme AS tidak
pernah mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 di bawah
pimpinan Presiden Sukarno dan menganggap dirinya memiliki hak untuk mengambil
alih Indonesia sebagai pemimpin Sekutu yang berhasil mengalahkan Jepang dan
menjadi pemenang Perang Dunia ke-2. Karenanya tidak lama setelah Jepang
menyerah, balatentara Sekutu pimpinan AS mengirim pasukan Inggris dan
pemerintah sipil Hindia Belanda (NICA) untuk menerima penyerahan kekuasaan dari
Jepang. Tentu saja rakyat menentang keras skema imperialisme ini dan
mengobarkan perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di
seluruh tempat. Dalam waktu singkat rakyat mengorganisasikan dirinya dalam
laskar-laskar bersenjata untuk menyerang tentara Jepang dan merampas senjatanya
mendahului rencana sekutu. Selama perang mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus
1945 tersebut dikenal beberapa pertempuran besar dan herois seperti Palagan
Ambarawa, pertempuran Surabaya, pertempuran Kota Baru di Jogja, Serangan Umum
di Solo, pertempuran Lima Hari di Semarang, pertempuran Medan Area, dan
sebagainya di seluruh Indonesia.
Melihat perlawanan rakyat Indonesia yang luar biasa dan
ketakutan Indonesia akan jatuh ke tangan komunis, dengan licik imperialis AS
dan pemerintah sipil Hindia Belanda memperalat pemerintahan reaksioner pro
imperialis Syahrir dengan sokongan Wakil Presiden Moh Hatta untuk menggunakan
perundingan damai sebagai satu-satunya bentuk perjuangan dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Berkedok sebagai penengah, imperialis AS mendominasi
perundingan antara Indonesia dan Belanda yang berpuncak pada penyerahan
“kedaulatan palsu” melalui KMB. Sejak saat itu rakyat Indonesia kembali berada
dalam cengkeraman imperialisme dan kaki tangannya di dalam negeri, utamanya
pemerintahan Syahrir, yang menjadi penjaga investasi dan utang milik imperialis
agar tetap berdominasi di Indonesia. Karenanya sejak saat itu pula, Indonesia
telah menjadi negeri setengah jajahan di bawah dominasi imperialisme utamanya
imperialis AS yang menentang aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan
landreform sejati dan industri nasional. Dan karakter ini semakin menguat sejak
jatuhnya pemerintahan nasionalis Sukarno pada tahun 1966 digantikan oleh
pemerintah Orde Baru pimpinan Jenderal Fasis Suharto.
Sementara itu, karakter sistem setengah feodal telah ada seiring dengan
dominasi kapitalisme monopoli atas sistem produksi feodal di Indonesia. Negeri
kapitalis utama di dunia seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, juga
Belanda telah menjadi kekuatan kapitalisme monopoli (Imperialis), bukan lagi
kekuatan kapitalisme persaingan bebas di tahun 1900-1903. Di tahun-tahun
tersebut, di Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) operasi kapital milik
imperialis mengalami perkembangan luar biasa sejak ekspansi kapital finans
dalam pembiayaan pembangunan perkebunan dan tambang besar di Jawa, Sumatera,
kalimantan dan Sulawesi sejak tahun 1870-. Demikian pula kapital finans
imperialis mendorong massifnya pabrik olahan dan perdagangan komoditas untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan industri kapitalis di Eropa, Amerika dan Jepang.
Namun seluruh aktifitas kapital finans di dalam perkebunan tidak mengubah
hubungan produksi feodal yang telah eksis sejak abad ke 15. Produk lebih yang
dihasilkan dalam perkebunan diperoleh dari penerapan sewa tanah, peribaan, upah
murah terhadap kaum tani, dan penggunaan teknologi tradisional sepeti era-era
feodalisme sebelumnya.
Sistem produksi feodal di pedesaan yang luas termasuk perkebunan besar
monopoli di bawah pemerintah jajahan Hindia Belanda dan di bawah pemerintah
pendudukan militerisme fasis Jepang tidak berubah secara fundamenal. Produksi
bahan mentah pertanian terutama oleh perkebunan besar betul-betul hanya
bergantung dari tanah sebagai alat produksi terpenting dan tenaga kerja murah.
Peningkatan produksi bahan mentah yang diekspor oleh para tuan tanah bergantung
dari perluasan tanah secara terus-menerus karena investasi kapital dalam
perkebunan sangat rendah. Tidak ada penggunaan teknologi pertanian baru dan
modern, tenaga kerja terampil serta perbaikan infrastruktur dan tidak ada
penggunaan mesin pabrik baru dalam pabrik olahan di perkebunan. Secara
umum manajemen pabrik sangat buruk
seperti zama kolonial.
Mayoritas tenaga kerja Indonesia
bekerja di dalam pertanian terbelakang dengan produktivitas rendah, termasuk
mereka yang bergantung hidup sebagai buruh tani di sekitar hutan tanaman
industri dan pertanian berladang di tengah suku bangsa minoritas. Hanya sebagian kecil dari kaum tani yang
menguasai tanah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara
sebagian besar lainnya menguasai tanah sangat kecil atau tidak bertanah.
Pertanian skala kecil ini eksis berdampingan dengan perkebunan besar monopoli
yang terus meluas, produksi skala kecil milik kaum tani masih eksis di pedesaan
yang luas. Pertanian ini umumnya memproduksi tanaman pangan komoditas seperti
padi, jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, aneka jenis sayuran dan
buah-buahan. Kaum tani menguasai lahan rata-rata hanya 0,35-0,5 hektar di Jawa,
Bali dan Lombok, sementara di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan
sebagian Nusa Tenggara kaum tani menguasai lahan lebih luas akan tetapi sangat
tidak produktif. Pertanian subsisten yang terisolasi dari pasar di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Mereka masih menanam tanaman pangan untuk
dimakan sendiri dan secara terbatas menanam tanaman komoditas terutama karet
atau mencari hasil hutan alam lainnya. Revolusi hijau yang diterapkan
pemerintah orde baru telah merusak sistem pertanian skala kecil milik kaum tani.
Peningkatan produksi gagal didapatkan sementara kesuburan tanah telah dirusak
dengan pestisida dan herbisida berlebihan. Negara reaksi juga membangun
beberapa DAM besar untuk irigasi pertanian.
Tanah masih menjadi masalah utama bagi
kaum tani di pedesaan. Untuk meredam
tuntutan atas tanah dan ketidakmampuan produksi oleh kaum tani, pemerintah
reaksioner mengajukan program landreform palsu. Salah satu program paling
terkenal dan masih berlangsung hingga sekarang adalah Program Transmigrasi.
Program ini ditujukan bagi kaum tani di Jawa, Lombok dan Bali yang dipindahkan
ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Mereka diberi tanah seluas 2
hektar dan tunjangan selama masa menunggu produksi. Akan tetapi dalam
prakteknya, kaum tani tersebut harus membangun perkebunan monopoli di
tempat-tempat transmigrasinya dan tanah miliknya juga terintegrasi dalam sistem
perkebunan tersebut yang dijanjikan menjadi tanah bebas setelah 25 tahun.
Program transmigrasi pada prinsipnya program anti-landreform dan menegakkan sistem
penghisapan feodal atas kaum tani dengan memperluas sewa tanah dan penggunaan
tenaga kerja murah milik kaum tani untuk pembangunan perkebunan besar monopoli
milik tuan tanah besar.
Pengembangan pabrik olahan terutama di dalam perkebunan juga berlangsung
massif seperti pembangunan olahan kelapa sawit, tebu, teh, kopi, karet dengan
hasil produknya hanyalah pengepakan baru dan barang setengah jadi untuk ekspor.
Mesin-mesin pabrik tersebut adalah mesin uap rendahan yang diperoleh dari impor
sejak awal tanam paksa. Dengan banyaknya mesin impor masuk juga beberapa
bengkel perbaikan mesin dan berbagai usaha pemasok sparepart untuk mesin tersebut. Tetapi imperialis Belanda dan
imperialis Inggris yang paling banyak menanamkan investasinya saat itu sama
sekali tidak membangun pabrik yang memproduksi mesin. Sebab seluruh bahan
tambang seperti biji besi, batu bara, minyak bumi dan mangaan yang memungkinkan
produksi mesin seluruhnya diekspor ke negeri imperialis. Hingga era negara
setengah jajahan saat ini Indonesia mustahil dapat membangun industri
permesinan dan kimia, serta teknologi canggih lainnya seperti industri dasar
bagi elektronik, pesawat terbang dan persenjataan.
Di
Indonesia tidak ada industri dasar yang dapat menciptakan baja, kimia dasar,
semi konduktor dan mesin berat. Industri hanya terbatas pada usaha mendapatkan
bahan mentah seperti mineral, besi dan kayu, pabrik olahan, industri perakitan
dan pabrik pengemasan kembali barang konsumsi. Hal tersebut masih bergantung,
secara terus menerus pada mesin dan bahan baku impor milik imperialis. Borjuasi
besar komprador atas bantuan imperialisme telah menciptakan sistem komoditas
sebagai sistem yang berlaku secara umum. Hal ini dapat dilihat pada
tanaman-tanaman ekspor di antaranya kayu, sawit, karet, kelapa; barang setengah
jadi seperti gula, cpo (crude palm oil),
kayu, serta seluruh produk yang dibuat di “zona ekonomi khusus ekspor-impor”
yang memanfaatkan buruh murah dan hak-hak istimewa yang diberikan negara
reaksi. Ini juga dapat dilihat dengan ketergantungan pada mesin dan perkakas
produksi impor lainnya serta barang jadi untuk konsumsi. Hal ini menyebabkan
defisit perdagangan luar negeri terus membengkak yang ditutupi dengan utang
luar negeri.
Liberalisasi perdagangan di negeri setengah jajahan didorong oleh
imperialis, sementara mereka sendiri melakukan proteksi besar-besaran terhadap
industri, pertanian dan perdagangannya melalui kuota yang ketat dan pengenaan
tarif sangat tinggi. Negeri setengah jajahan tidak dapat mencegah bahan mentah
yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan industri nasional diekspor dengan
harga sangat murah demikian; pula tidak dapat mencegah barang imperialis masuk
membanjiri pasar dalam negeri, karena dominasinya atas negara setengah jajahan.
Di bawah dominasi imperialisme atas negara setengah jajahan Republik
Indonesia seperti sekarang, bangsa dan masyarakat Indonesia mustahil dapat membangun industri sendiri dan
menguasai pasar dalam negeri. Di samping bahan mentah yang dikuras untuk
kepentingan ekspor, alat dan teknologi yang terbelakang juga tarif impor yang
sangat rendah bagi kapital dan mesin milik imperialis telah melengkapi dominasi
dominasi imperialis atas negeri ini.
Ekonomi
subsisten yang berproduksi bagi kepentingan sendiri telah berganti dengan
ekonomi yang bersandar pada pasar dan uang. Produksi kerajinan bebas oleh para
tukang dan keluarga kaum tani mengalami kehancuran karena persaingan dengan
produk-produk industri kapitalis. Penanaman tanaman untuk pasar asing, dan
penanaman tanaman lokal untuk kepentingan komersial telah melahirkan
spesialisasi dalam pertanian. Semua hal tersebut, pertumbuhan dari produksi
industri dan pasar lokal telah mendorong produksi komoditas dan telah membuat
peranan uang berkembang. Operasi kapital dan kekuasaan uang meluas. Akan tetapi
di pedesaan yang luas, kapital berupa peribaan dan perdagangan. Meskipun
kapital dalam riba dan perdagangan menarik nilai lebih dari kaum tani dan tuan
tanah kecil—yang nantinya mengalami kebangkrutan—kapital tidak secara langsung
memasuki dan memiliki proses produksi. Produksi kuno yang terbelakang dan
hubungan-hubungan feodal masih bertahan, meskipun nilai lebih yang diserap oleh
para periba dan pedagang terus bertumbuh.
Upaya imperialis untuk mempertahankan sistem produksi lama ini tidak saja
mendatangkan kesengsaraan atas kaum tani karena perberlakuan berbagai bentuk
penghisapan feodal di pedesaan yang luas, akan tetapi mempertahankan monopoli
tanah beserta seluruh penghisapan feodalnya adalah jalan imperialisme untuk
menghancurkan seluruh syarat-syarat bagi rakyat dan bangsa Indonesia untuk
membangun industri nasional dengan mengeruk habis seluruh kekayaan alam Indonesia
seperti minyak dan gas bumi, batu bara, biji besi, bauksit, nikel, emas,
tembaga, timah bahkan uranium. Seluruh tenaga produktif Indonesia berada dalam
kontrol imperialis AS dan memelihara kekuasaan klas borjuasi besar komprador
dan tuan tanah sebagai agen perwakilannya di Indonesia.
Rakyat
Indonesia tidak akan dapat bebas sepenuhnya dan menentukan nasibnya sendiri
untuk mencapai kemajuan di lapangan ekonomi, politik, kebudayaan dan
kemiliteran dan hubungan luar negeri apabila tidak bersatu mengalahkan dominasi
AS dan klas reaksioner di dalam negeri yang menjadi agen atau kaki tangannya
yaitu klas borjuasi besar komprador, tuan tanah dan kaum kapitalis birokrat.
Rakyat Indonesia juga tidak dapat berharap pada imperialis AS, tuan tanah dan
kapitalis birokrat untuk memberikan kemerdekaan penuh pada bangsa dan rakyat
Indonesia, menjalankan landreform sejati dan membangun industri nasional. Sebab
apa yang mereka lakukan hanyalah meneruskan produksi bahan mentah bagi
imperialis berbasis pada monopoli tanah yang luas, menyediakan tenaga kerja
murah murah bagi pabrik semi-prosesing milik imperialis di Indonesia serta
membiarkan negeri ini dalam cengkeraman utang dan investasi asing. Keseluruhan
masalah tersebut hanya melahirkan kemiskinan, pengangguran akut, pendidikan dan
kesehatan yang buruk serta kejahatan yang tidak
ada akhirnya.
-
Siapa yang
diuntungkan dan dirugikan atas keberadaan sistem setengah jajahan dan setengah
feudal di Indonesia?
Mereka
yang diuntungkan oleh sistem terbelakang setengah jajahan dan setengah feudal
adalah kapitalis monopoli dunia (imperialism) seperti perusahaan-perusahaan
besar PT Freeport Indonesia, Chevron, Exxon Mobile, Bank-bank asing dan klas
reaksi di Indonesi yang menjadi kaki tangannya, yakni borjuasi komprador dan
tuan tanah seperti Sinarmas, Perhutani, PTPN, PT RNI, MEDCO, dan lain-lain.
Mereka semua beroperasi dan meraup keuntungan besar dari klas pekerja rakyat
Indonesia.
Sedangkan
klas yang dirugikan dari sistem ini adalah seluruh rakyat pekerja: klas buruh,
kaum tani, borjuasi kecil, dan semi proletar. Seluruh klas pekerja tersebut
menjadi rakyat yang ditindas dan dihisap oleh sistem setengah jajahan dan
setengah feudal yang melahirkan kemiskinan luas dan kronis di pedesaan maupun
perkotaan.
- Apa itu Imperialisme?
Imperialisme
adalah tahap perkembangan tertinggi dan terakhir dari kapitalisme di dunia.
Imperialisme merupakan tingkatan perkembangan yang berasal dari kapitalisme
persaingan bebas yang mencapai krisisnya menjadi kapitalisme monopoli. Hal ini
ditandai oleh lima ciri khusus yaitu: Pertama,
Konsentrasi produksi dan kapital telah berkembang sebuah tahapan tinggi
sehingga menciptakan monopoli yang memegang peran penting dalam kehidupan
ekonomi. Kedua, Perpaduan antara
kapital bank dengan kapital industri menciptakan basis bagi pembentukan kapital
finans. Ketiga, Eksport kapital yang
berbeda dengan ekport komoditi, di mana ekspor kapital menduduki peranan lebih
penting daripada ekspor komoditas. Keempat,
Pembentukan formasi kapitalisme monopoli internasional dan pembagian dunia di
antara mereka. Kelima, Pembagian
teritori di seluruh dunia di antara kekuatan kapitalis besar telah selesai.
Dalam
periode imperialism wajah asli yang nampak adalah perang demi perang yang
dikobarkan oleh negeri-negeri imperalis yang terus menjajah dan mendominasi
bangsa asing dan krisis demi krisis yang dialami oleh bangsa dan rakyat
terjajah di berbagai belahan dunia.
- Apa itu Feodalisme?
Feodalisme
intinya adalah monopoli penguasaan tanah, alat
kerja dan
sarana produksinya
berada di tangan tuan tanah dan dengannya mereka menjalankan berbagai bentuk
penghisapan feodal atas kaum tani. Tuan tanah tidak berpartisipasi dalam
produksi dan dapat mempekerjakan buruh tani, petani miskin dan petani sedang
bawah. Para tuan tanah hidup mewah dengan praktek penindasan dan penghisapan
feodal seperti sewa tanah dalam berbagai bentuknya, riba, membayar upah buruh
tani dengan sangat murah dan menjalankan monopoli atas berbagai sarana dan
hasil produksi pertanian melalui monopolinya atas harga.
- Apa itu Kapitalisme Birokrat?
Kapitalisme
birokrasi ialah penyalahgunaan kekuasaan oleh kaum birokrat (golongan
politik) karena memegang kendali
kekuasaan negara di tingkat nasional hingga tingkat kabupaten atau kota yang
secara langsung melayani kepentingan imperialisme untuk memperkaya dirinya
sendiri, keluarga dan klik
kekuasannya, mengumpulkan
kapital untuk mempertahankan dan menaikkan posisinya dalam pemerintahan.
FEODALISME MASIH
BERCOKOL DI TENGAH SITUASI DAN KONDISI NEGARA SETENGAH JAJAHAN DAN SETENGAH
FEODAL
Feodalisme adalah basis sosial bagi dominasi
imperialisme di Indonesia. Sekalipun kapitalisme telah berkembang hingga bentuk
tertingginya yaitu imperialisme atau kapitalisme monopoli, feodalisme tidak
dengan sendirinya hapus dari Indonesia. Hal ini karena sistem ini dapat
memberikan keuntungan yang luar biasa besar bagi imperialis dan terbukti dapat
menjadi penyelamat sistem imperialisme dunia pada saat mengalami krisis yang
paling parah. Imperialis AS secara umum hanya meneruskan kebijakan Pemerintah
Penjajahan Belanda yang tidak mengubah sistem feodalisme di Indonesia bahkan
mempertahankannya.
Imperialism tidak
akan membiarkan rakyat mandiri dan berdaulat dengan terus mempertahankan
Indonesia tetap menjadi negeri agraris yang terbelakang dan bukan negeri
industri yang kuat. Langkah yang dilakukan adalah dengan mempertahankan
keberadaan tuan tanah dengan mendukungnya secara keuangan dan politik bagi
beroperasinya berbagai bentuk monopoli tanah melalui perampasan tanah untuk
menghasilkan bahan mentah bagi industry imperialis.
Berbagai bentuk
perampasan dan monopoli tanah
-
Perkebunan skala luas: perkebunan kelapa sawit, karet,
hutan tanaman industri, teh, tebu, kopi, jagug, kentang, dsb.
-
Proyek konservasi: taman nasional, cagar alam, dsb. Contohnya dengan diterbitkannya Perpres No 15
Tahun 2018 tentang proyek percepatan strategis nasional bagi hulu Citarum yang
nyatanya perampasan lahan dan pengalih kuasaan hak atas tanah kepada Kapitalis
Birokrat.
-
Pertambangan skala besar: emas, tembaga, mineral, pasir
besi, mangaan, dsb
-
Proyek infrastruktur strategis nasional sebagai aliran
kapital asing untuk melayani fasilitas istimewa bagi investasi asing milik
perusahaan besar asing dan sekaligus mendapatkan keuntungan melalui bunga
utang.
Skema tersebut nyata dan ini menjadi suatu
problem akan bentuk penghisapan rakyat secara ekonomi dan penindasan secara
politik yang dalam hal ini , negara sebagai yang melindungi dan melayani
rakyatnya lepas tangan dan seolah melanggengkan sistem setengah jajahan dan setengah
feodal yang awet serta kronis ini dan tiap waktu ke waktu mengisahkan luka yang
tak berkesudahan.
Komentar
Posting Komentar